HUBUNGAN GAJI KECIL, AGAMA, DAN KORUPSI
Indonesia adalah negara yang berketuhanan yang Maha Esa tetapi di sisi lain juga termasuk negara yang paling korup. Pada tahun 2007 Corruption Perceptions Index Indonesia menurut Transparansi Internasional adalah 2.3 atau peringkat 143 dari 180 negara. Sementara itu, gaji kecil di Indonesia sering dijadikan dalih pembenaran untuk melakukan korupsi bagi aparatur negara.
Apakah benar gaji kecil menjadi salah satu sumber utama penyebab korupsi? Dapatkah dengan gaji kecil manusia tidak korupsi? Dimanakah posisi dan peran agama dalam hubunganya dengan masalah korupsi ini? Bagaimanakah nilai normatif agama dan antikorupsi? Dimanakah letak kesalahan keberagamaan kita? Masalah – masalah ini adalah fokus dari tulisan ini.
Gaji Kecil Sumber Korupsi
Para aparatur negara dibayar dengan murah dan sesungguhnya itu merupakan bentuk kezaliman. Mereka mempunyai wewenang dan kekuasaan yang besar tetapi “disandera” dengan gaji yang kecil. Padahal kekuasaan itu cenderung korup: “power tends to corrupt”. Pada akhirnya, mereka mencari “sampingan”, sebab gaji kecil yang mereka terima tidak mencukupi biaya hidup. Jika orang digaji tidak sesuai dengan kehormatan jabatan, pertanggungjawaban tugas, status dan volume kerja, maka hal itu berarti pemberian lisensi untuk korupsi (license to corrupt).
Sedangkan dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Abdurrahman bin Zubair dan Al-Mustaurid bin Syadad, telah “diwanti – wanti” oleh Nabi tentang idealitas penggajian yang layak. Dalam hadis itu Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapapun yang diberikan wewenang mengerjakan sesuatu, sementara ia belum punya rumah maka buatkanlah rumah, atau ia belum punya isteri maka nikahkanlah, atau ia belum punya pembantu maka carikanlah pembantu, atau ia belum punya kendaraan maka carikanlah kendaraan. Jika ia mengambil selain itu, maka ia berarti melakukan korupsi (ghulul)”. Akan tetapi Islam juga menganjurkan sifat menerima (qonaah) dan bersyukur atas rizki yang diterima.
Namun, gaji kecil tidak selalu menjadi faktor utama yang melandasi seorang birokrat melakukan korupsi. Banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan orang kaya. Orang kaya yang berbuat korupsi sebenarnya mengidap culture of poverty karena tidak kunjung merasa cukup. Karena itu, agama mengajarkan qonaah, budaya cukup (culture of adequateness) material maupun mental spiritual. Kekayaan spiritual dalam wujud moralitas yang mulia lebih berharga daripada kekayaan material yang diperoleh dan dinikmati tanpa kemuliaan moralitas.
Jika kita analisis, alasan dasar pengambilan keputusan untuk melakukan korupsi atau tidak oleh para koruptor adalah jika keuntungan yang didapat melebihi biaya yang ditanggung (incentif dan disincentif). Keuntungan yang diperoleh adalah besar uang yang bisa dikorupsi. Biaya yang ditanggung adalah gajinya yang hilang bila dipecat karena korupsi.
Dari model sederhana itu dapat ditarik kesimpulan. Pertama, makin besar nilai yang bisa dikorupsi, makin besar godaan untuk korupsi. Kedua, makin besar gaji PNS, makin besar cost of corruption karena jika dia tertangkap, dia kehilangan penghasilan yang makin besar. Ketiga, makin mendekati waktu pensiun, makin kecil biaya korupsi, berarti makin besar insentif untuk korupsi. Keempat, yang paling penting adalah probabilitas tertangkap. Cost of corruption tergantung probabilitas tertangkap/dipecat. Bila probabilitas untuk tertangkap = 0, maka cost of corruption = 0, korupsi akan terjadi berapa pun gaji PNS dan pada usia berapa pun.
Cost of corruption salah satunya dapat ditingkatkan dengan menaikan standar gaji PNS kepada tingkat standar yang berlaku wajar di lingkungan swasta dengan benchmark kemampuan, pendidikan, dan pengalaman kerja. Terlebih khusus lagi pada bidang – bidang yang rawan korupsi seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pajak, bea cukai, dinas pendapatan daerah. Sehingga muaranya adalah pada penggajian berdasarkan kinerja bukan asas PGPS (Pintar Goblok Pendapatan Sama).
Tetapi berdasar simpulan keempat dari analisis diatas, upaya pencegahan korupsi yang terbaik adalah melakukan review dan perbaikan sistem sehingga mampu mencegah setiap kemungkinan terjadinya korupsi. Sistem yang masih terlalu lemah sesungguhnya merupakan akar dari permasalahan korupsi
Agama dan Korupsi
Sejak terbitnya buku klasik Max Weber The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), hubungan antara etika agama dan prilaku manusia (penganutnya) terus hangat dibicarakan. Apakah betul bahwa etika agama berpengaruh cukup signifikan dalam mendorong umatnya untuk maju dalam hal ekonomi dengan membuat suatu umat berprilaku jujur atau bersikap korup?
Meskipun demikian adalah menarik untuk mengamati tesis yang dikemukakan oleh David W. Haddorff (2002). Haddorff pernah menganalisa hubungan antara etika agama dengan kehidupan masyarakat ekonomi (pasar) dengan mengajukan tiga paradigma dasar. Pertama, conflict-model yang disosialisasikan oleh Max Weber dan Karl Marx, yang mengatakan bahwa agama dan pasar sangat berseberangan, dan tidak ada hubungan sama sekali. Kedua, fungsionalist-model yang dikembangkan oleh Emile Durkheim, yang mengatakan bahwa keduanya mempunyai hubungan yang erat. Ketiga, teori yang dikembangkan oleh Karl Polanyi, yang mengklaim bahwa keduanya mempunyai hubungan dialektik, tetapi keduanya sangat rentan terhadap pengaruh dari luar. Dari ketiga paradigma tadi, Haddorff berkeyakinan bahwa teori ketiga lah yang cukup moderat dan bisa diterima oleh banyak kalangan, baik akademisi maupun masyarakat umum.
Teten Masduki, seorang pejuang antikorupsi, mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara agama dan korupsi. Kesimpulan ini didasarkan bahwa Finlandia sebagai negara yang bersih dari korupsi adalah negara sekuler. Keberhasilan Finlandia lebih terkait dengan political will yang kuat dan sikap tidak toleran masyarakat pada korupsi. Tetapi political will dan zero tollerance atas korupsi pasti terkait dengan kebudayaan (sistem kepercayaan). Hal ini karena sistem sosial terkait dengan sistem nilai yang dianut, termasuk didalamnya sistem kepercayaan.
Muhammad Ali (2004) menjelaskan bahwa dalam memandang agama kita tidak bisa underestimate dan juga overestimate. Artinya, sebagai masyarakat yang kental dengan nilai-nilai agama, rakyat Indonesia tidak bisa menutup mata bahwa agama dituntut untuk mampu berperan aktif dalam menggerakan segala bentuk sikap dan prilaku masyarakat. Namun, kita juga tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal, tetapi tokoh dan penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat.
Korupsi adalah tindakan yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi menyiratkan dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi diklaim sebagai kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari dan mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya (syirik sosial). Sedangkan klaim korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu, masyarakat (terutama yang lemah) kian hidup dalam kubangan kesengsaraan sekaligus tragedi kemanusiaan yang luar biasa dahsyat.
Agama itu sendiri berbeda dengan keberagamaan (religiosity). Jadi, yang menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan adalah tingkat religiusitas yang dimilikinya. Religiusitas ialah penghayatan terhadap nilai-nilai yang disampaikan agama dan sekaligus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sejauh terkait dengan nilai dan moralitas, agama-agama memiliki hubungan dengan korupsi, karena agama-agama selalu bicara dimensi moral-spiritual. Contoh dalam Islam, nilai – nilai normatif Islam tentang antikorupsi mengajarkan larangan suap, larangan ifsad dan ghulul, keharusan jujur dan amanah, keharusan menegakan keadilan dan meritokrasi, larangan memakan harta haram dan tidak rakus terhadap dunia, anjuran transparan dan kontrol terhadap kebijakan.
Keberagamaan substantif masih asing dalam wacana dan perilaku umat beragama. Hal ini karena kurangnya internalisasi ajaran agama, kurangnya kontekstualisasi nilai normatif agama tentang antikorupsi dan kurangnya institusionalisasi ajaran antikorupsi dalam kehidupan sehari – hari. Sehingga tidak aneh menemukan orang yang berfikiran dan bertindak – contoh – ibadah sholat terpisah dengan korupsi yang dilakukanya. Agama dalam konteks substantif, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol transendental (Ilahiah) karena ibadah ritual yang tidak bermutu tidak akan berdampak positif pada perilaku.
A Supratiknya, Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, berpendapat, ada tiga bentuk orang Indonesia dalam menjalankan agamanya. Pertama, beragama secara teoretis. Artinya, mereka memahami Kitab Suci, sering beribadah sesuai ajaran agama. Kedua, beragama dalam tindakan (praktik). Artinya, jarang membaca Kitab Suci, bahkan tidak pernah, juga tidak pernah sembahyang, namun dalam bertindak dan berbicara setiap hari tidak merugikan orang, sesuai dengan nilai, norma, dan hukum yang berlaku. Ketiga, beragama secara ideal. Artinya, tahu agama secara teori dan menjalankan teori agama dalam kehidupan nyata.
Salah satu gerakan kultural yang strategis dalam memperkuat pemberantasan korupsi adalah lewat media pendidikan, baik formal maupun nonformal. Namun demikian, pendidikan kita belum memiliki platform yang jelas tentang pola pengajaran pemberantasan korupsi, sehingga character building bangsa tidak muncul. Character building bahkan hilang dari proses pendidikan yang diselenggarakan di tingkat dasar, menengah, maupun tinggi. Orientasi dari proses pendidikan kita adalah market oriented sehingga proses pendidikan lebih menekankan adanya kemampuan kognisi, ketimbang afeksi dan psikomotorik. Dimensi moralitas-nilai dan pengamalan nilai-nilai terlampau jauh dari proses pendidikan di Indonesia sekarang ini. Hal ini bisa dilihat dari mata pelajaran agama di SD sampai dengan bangku kuliah hanya mengajarkan pengetahuan teoritis yang tidak dibarengi pembentukan karakater dengan aktualisasi nilai – nilai agama.
Jadi, dari pembahasan diatas penulis berkesimpulkan bahwa gaji kecil merupakan salah satu insentif untuk berbuat korupsi karena cost of corruption yang kecil pula (corruption by need). Korupsi karena kebutuhan ini tidak berlaku bagi pribadi yang mempunyai tingkat keberagamaan substantif yang tinggi meskipun ia menerima gaji yang kecil. Tetapi dengan gaji besar belum tentu menjamin bebas dari korupsi jika ada culture of poverty (tidak kunjung merasa cukup) karena tingkat keberagamaan yang rendah yang memunculkan corruption by greed.
Hal yang bisa dilakukan saat ini adalah menetapkan standar gaji yang layak bagi kehidupan individu aparatur negara dan keluarganya sebagaimana telah diajarkan Nabi tentang idealitas penggajian. Perumusan besarnya minimal penggajian bisa dilakukan penelitian lebih lanjut yang disesuikan dengan kinerja aktual (performance based) yang bersangkautan. Keberagamaan (religiusitas) masyarakat juga perlu ditingkatkan dengan penguatan teologis dan sosial karena penghayatan terhadap nilai-nilai yang disampaikan agama dan sekaligus yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sangat rendah dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
(Artikelku ex tugas mata kuliah seminar pemberantasan korupsi, semester 8 STAN. Copas u mnuhin Blog baru 😉 )
Ada sikap inkonsisten di kalangan masyarakat. Pada saat persoalan sosial telah sedemikain buruk, permasalah korupsi telah sedemikian menggurita tiba-tiba diserukan agar agama memliki peran dalam membentuk pola sikap masyarakat. Tetapi ketika diserukan agar Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh diterapkan secara total ditolak dengan dalih agama adalah urusan individu dan negara didak boleh masuk ke wilayah privat. Jadi maunya gimana?
Good article.,mang kt hrs segera mungkin menjelaskan ap itu korupsi…n dampakny…tp itulah hidup…gk ad puasny.,aparat hukum hrs d prioritas..kwenangannya adlh pisau bermata dua…klw gk d imbangì bahaya..
Bangsaku…aku sering kali malu dengan pebuatan saudara – saudara setanah air,kita mengakui kalo bangsa kita adalah bangsa yg religius, taqwa tapi justru kita yg paling “suka” lupa dan kemudian gemar berdosa, apakah masih dipertanyakan lagi mengapa Tuhan menegur bangsa ini dengan berbagai musibah dan cobaan ??? tidakkah pejabat dan org kaya di negri ini punya kaca dirumah mereka masing2,apakah harus ada iklan di TV untuk kita berkaca terlebih dahulu sebelum beraktivitas setiap harinya ?? jgn lupa Bapak – Bapak JABATAN dan HARTA hanya TITIPAN Tuhan…suatu hari nanti Bapak – Bapak akan diminta PERTANGGUNGJAWABANNYA !!!!! Sbg saudara sebangsa dan setanah air,yg bisa saya lakukan adalah berusaha Mengingatkan,Semoga Bangsa ini diluputkan dari bencana yg jauh lbh besar dari yg kita pernah alami.amin
gaji yg diterima PNS kita saat ini tidaklah “logis” untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalgi kebutuhan skunder n tersier mereka. Reformasi Birokrasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah sekarang wajib kita dukung n kawal bersama untuk tata kelola pemerintah indonesia yg lebih baik. Pemberian penghargaan harus didasarkan pada prestasi kinerja (performance based). Sunguh unik dan luar biasa, misal, dalam penetapan jabatan dalam lingkungan PNS tidak lagi “urut kacang” berdasarkan senioritas, tp berdasarkan kemampuan, prestasi dan kepemimpinanya
ya.. 32 tahun..: PNS gaji memang “dibuat kecil”, jadi dibawah alam sadar PNS (dan juga masyarakat) menjadi permisif dengan adanya sabetan dan ceperan..
menurutku hal inilah dampak yang paling negatif yang diwariskan dimasa itu.. negri menjadi ga karu2wan
triangle effect y mas
Wah kirim ke WBC aja neeeh, mantab
wah boleh juga tu idenya idenya mas
tp beneran kan mantabsnya? 🙂
bener coy, mantabs
Blog baru yang inspiratif…
walau postingan lama tapi tetep fresh.
o ya sedikir nulis nih ms..
dalam Islam kita mengenal dengan nabi Muhammad dididik berdagang sejak kecil, dari situ menginspirasi buat kita semua bahwa pendidikan berdagang sangat penting untuk mendasari seorang anak manusia bahwa perputaran uang terbesar adalah di dunia dagang.
dengan dasar ini maka budaya kita akan lebih produktif pada tempatnya. jadi kalo mo pada cukup secara materi baik itu cukup untuk beribadah, berinfaq, berzakat bahkan untuk mampu ber-Haji, maka ittiba’ Rasul untuk mulai berdagang wajib didengungkan… Al Hasil ingin saya mainstream untuk menjadi PNS bukan lagi keinginan masyarakat luas. pengangguran dapat berkurang secara otomatis kalau budaya berdagang telah tersebar luas.
Indonesia go productive and competitive.
jazakalloh pak komenya…
sy skarang berstatus sbg PNS, tp sangat berniat u punya usaha sampingan n ambisi sy penghasilan usaha sampingan sy tsb harus bisa lebih besar drpd penghasilan sy sbg PNS. Sy memaknai berdagang sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW bukan hanya berdagang sebagaimana difahami dalam kehidupan masyarakat umum di sekitar kita. Berdagang dipersepsi masyarakat kita hanya kegiatan distribusi barang/jasa, sehingga added valuenya hanya terbatas pada penyaluran barang jasa. Elemen yang tidak kalah pentingnya adalah kegiatan produksi yang rantai nilainya sangat tinggi. Added value via produksi ini jg pernah dicontohkan nabi kita kan Pak, ketika beliau menggembalakan kambing